Rabu, 18 Februari 2009

JOGJA “BUKAN” KOTA FREE SEX Banyak riset ngawur!

JOGJA “BUKAN” KOTA FREE SEX

Banyak riset ngawur!

eL_ridho*

Nila setitik, rusak susu sebelangga. Pribahasa itu tepat untuk menggambarkan peta kota Jogja serta prestise mahasiswa Jogja tercemar. Sebuah majalah di ibu kota menulis tarif mahasiswi kota Jogja Rp 1-2 juta sekali kencan. Kalimat tersebut menegaskan jelas mahsisiwi Jogja yang datang dari bebrbagai daerah ternyata punya misi ganda. Selain kuliah, juga ‘nyambi’ jualan tubuh. Fenomena ini memang bukan hal baru. Pergaulan anak muda sekarang menafikan norma-norma. Melakukan hubungan seks sebelum nikah, seperti tidak tabu lagi. Maka, jika ada berita mahasiswi ‘jualan’ daging bukan isapan jempol. Memang nyata ada.

Seorang pelajar yogya, Eko Sulistyo, awal 80-an, pernah melakukan penelitian tentang kumpul kebo, yang membikin geger itu. Penelitian itu membuka mata banyak orang. Tidak terduga sama sekali. Meski sebuah realitas yang patut di sayangkan, isu kumpul kebo kalangan mahasiswa, sempat bikin tercemar kota Jogja. Banyak orang tua yang ngeper. Takut mengkuliahkan anaknya ke Jogja. Beberapa tahun lalu, Iip Wiajyanto, merilis penelitian yang tak kalah menarik dan menggemparkan yaitu ‘97,05 persen mahasisiwi Jogja sudah tidak perawan’. Hal ini tidak membuat kaget di kalangan penididk saja tapi orang tua calon mahasiswa yang awalanya ingin memasukan anaknya ke kota budaya ini merasa ketakutan luar biasa karena isu tersebut. Mereka berpikir, bila anaknya kuliah di Jogja, kemungkinan akan terpengaruh pergaulan. Ending-nya, jadi hilang keperawananya, seperti yang di ungkapkan Iip itu.

Oknum mahasisiwa yang kebablasan memang ada. Namun jika mengacu temuan Iip yang 97,05 persen itu, sangat berlebihan. Karena tidak mewakili keseluruhan mahasiswa. Wajar jika kemudian banyak yang melakuakn protes atas temuan yang di anggap sangat tidak valid dan amatiran itu. Prof. Drs Koentjoro MBSc, Ph.D, tak menampik ada mahasisiwa yang terlalu jauh perbuatannya. Jika ada mahasiswa yang melacur, menurutnya, di pengaruhi beberapa hal. Antara lain tidak ada kontrol orang tua, bentuk kaksih sayang dari orang tua hanya sekedar pemenuhan materi saja, kasih sayang dan perhatian minim di berikan. Hal kedua yaitu lingkungan. Yang ketiga tergantung setiap individu. Bergaul dengan kawan yang seperti apa, menjadi sebuah pilihan. Teknologi internet membuat kematangan seksual seseorang lebih cepat dan rasa ingin tahu pun semakin tinggi. Hal ini bisa menyebabkan seks pra nikah yang berujung pada pelacuran.

Melacur berbeda dengan melakukan hubungan badan dengan pacar. Melacur berarti menjual kehormatan sekaligus harga diri. Secara biologis, usia 19 tahun ke atas sudah mencapai tahap seksual mature. Jika kontrol diri lemah dapat menyebabkan kontrol terhadap seks meningkat, hal ini di ungkapkan oleh psikolog sosial UGM. Dalam pandangan Koentjoro, imej Jogja sebagi kota pendidikan sedikit terimbas dengan adanya mahasiswa yang melacur. Namun tidak bebrpengaruh bagi mahasiswa yang tidak melakukannya. Namun penulis buku On The Spot ; Tutur dari Seorang Pelacur ini, menganggap penelitian Iip Wijayanto mengenai keperawanan mahasiswi yogya, sungguh tidak memenuhi syarat. Baik secara teoritis, metodologi maupun penelitian subjek. Penelitain itu tidak sesuai jalur dan bisa saja di tuntut pihak yang berkepentingan seperti Dewan Pendidikan. Penelitian itu cukup memberi pengaruh dan banyak orang tua yang tersentak. Namun hal itu tetap tidak mengurungkan niat untuk tetap percaya untuk menyekolahkan putra-putrinya di Jogja. ”Yang terpenting berkata tentang kebenaran. Jangan mencari sensasi maupun popularitas, sebab memnberi dampak yang luar biasa. Saya tidak percaya dengan hasil penelitian itu”, ungkap Koentjoro.

Koordinator Kopertis Wilayah V DIY, Prof. Dr. Ir Budi Santoso Wignyosukarto Dipl HE, juga tak melihat banyak pengaruhnya. “Ini dapat di buktikan dengan melihat angka partisipasi kasar (APK) jumlah masyarakat yang berusia 19-24 tahun yang kuliah di DIY lebih banyak (63 persen) ketimbang DKI (60 persen). Hal ini dapat di jadikan parameter bahwa masih banyak yang ingin melanjutkan pendidikan di Jogja. Total mahasiswa Jogja sekitar 146 ribu mahasiswa dengan 529 program studi”, kata Budi. Iip sendiri ketika di konfirmasi tentang adanya keengganan orang tua melepas anaknya ke Jogja, karena membaca hasil penelitiannya, menjawab singkat. “Ada penagruhnya tapi sedikit.” Memang tidak semua terpengaruh. Masih ada yang punya pikiran logis, bahwa penelitian itu tidak valid. Tidak mewakili secara keseluruhan. Namun yang ketakutan pun tetap ada. “Teman saya, dulu ingin kuliah ke Jogja. Tapi dilarang mamanya. Gara-garanya, bukunya Iip itu”. Ucap Via, mahasisiwi PTS di Jogja utara asal Palembang.

Lepas dari norma masyarakat dan agama, menjual diri memang urusan pribadi. Banyak faktor yang melatarbelakanginya. Ekonomi salah satunya. MP pernah dicurhati seorang mahasiswi asal Sulawesi, yang akhirnya terjerumus dalam dunia esek-esek. ‘Aku hidup sendiri di sini, orang tua tidak pernah kirim uang, rumahku di pedalaman. Terpaksa aku begini demi mempertahankan hidup,” ucap cewek berambut sebahu, yang kesehariannya suka bercelana panjang. Alasan itu bisa logis. Tapi kalau menyangkut orang banyak, terlebih menjual diri juga banyak akan memunculkan tuduhan massal. Stigma, bahwa kebanyakan mahasisiwi selalu begitu. Fenomena ini yang harus di sadari siapa saja. Terutama yang yang melakukan penelitian semacam Iip atau Eko.

Oknum adalah oknum. Tidak bisa mewakili semuanya. Jika ada sekelompok mahasiswi jual diri, tidak bisa menyeret semua mahasiswa/i Yogya. Wallahu’alam.

Blue island 04-06-08.

09:46

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia angkatan ’07.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar