Senin, 30 Maret 2009

“PERSPEKTIF HUKUM INTERNATIONAL MENGENAI SUKSESI NEGARA DALAM MENGINTERPRETASI KASUS TIMOR-TIMUR”

“PERSPEKTIF HUKUM INTERNATIONAL MENGENAI SUKSESI NEGARA DALAM MENGINTERPRETASI KASUS TIMOR-TIMUR”

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Suksesi negara adalah salah satu obyek pengkajian klasik dalam hukum internasional publik. Oscar Schachter mengungkapkan bahwa "State succession is one of the oldest subjects of international law." Meskipun sudah menjadi obyek kajian yang telah lama, namun hukum internasional masih belum jelas mengatur masalah ini. Czaplinski menyatakan bahwa hukum suksesi Negara “... is one of the underdeveloped areas of international law.” Dewasa ini kajian terhadap bidang ini kembali menarik perhatian cukup besar dari para sarjana hukum internasional. Sebab utamanya adalah cukup banyaknya negara baru yang lahir.Tercerai-berainya Uni Sovyet (Rusia) dan pecahnya Yugoslavia menjadi beberapa negara baru pada tahun 1991 adalah keadaan di mana perhatian terhadap suksesi negara menjadi signifikan.

Indonesia sendiri juga menghadapi masalah ini. Pertama adalah lepasnya Timor Timur dari Indonesia dan kemudian menyatakan kemerdekaannya (dengan bantuan masyarakat internasional yang tergabung dalam PBB). Kedua, adalah masalah suksesi negara yang terkait dengan perjanjian internasional ketika Mahkamah Internasional memeriksa sengketa pulau Sipadan- Ligitan antara Indonesia melawan Malaysia (1997-2002).


Hukum Internasional mengenai Suksesi Negara
Hukum internasional positif yang mengatur bidang ini masih belum ada. Belum ada aturan baku yang menjadi acuan atau mengikat bagi negara-negara. Praktek telah pula menunjukkan bahwa tidak ada aturan yang dapat diterima umum sebagai hukum internasional. Hal ini agak mengherankan, mengingat hukum internasional telah lama berupaya mengatur bidang ini. Hukum yang ada dari sejak awal perkembangan di bidang hukum ini adalah berbagai perjanjian bilateral antara negara baru dan lama. Contoh klasik mengenai perjanjian bilateral ini adalah Perjanjian tahun 1919 yakni the Treaty of Paris yang mengatur utang-utang publik (negara lama) yang beralih kepada negara baru, yaitu Hungaria.

Upaya pembentukan hukum atau perjanjian internasional mengenai hal ini bukannya tidak ada. Kekosongan hukum mengenai bidang hukum ini telah mendorong Komisi Hukum Internasional PBB (International Law Commission atau ILC) untuk mengkodifikasi hukum internasional di bidang hukum ini. Tahun 1978, ILC mengesahkan Konvensi Wina mengenai suksesi negara dalam kaitannya dengan perjanjian. Lalu pada tahun 1983, ILC juga mengesahkan Konvensi Wina mengenai Suksesi Negara dalam kaitannya dengan Harta Benda, Arsip-arsip dan Utang-utang Negara. Khususnya untuk Konvensi Wina 1983, Konvensi ini mensyaratkan ratifikasi agar Konvensi dapat berlaku efektif. Namun hingga ini baru diketahui hanya 5 negara saja yang meratifikasi Hal ini begitu sulit untuk mendapat pengaturan hukum internasional karena Masalahnya adalah, di dalam suksesi negara terkait di dalamnya berbagai faktor hukum dan factor - faktor non-hukum lainnya yang melekat. Faktor-faktor ini tampak cukup banyak mengingat kasus-kasus yang menyangkut lahirnya suksesi negara ini satu sama lainnya tidak sama.

Suksesi Negara dan Timor Timur
Terlepasnya Timor Timur dari wilayah Republik Indonesia dan kemudian membentuk negara baru (Timor Leste), melahirkan berbagai masalah baru. Masalah utamanya adalah adanya dua pendapat yang saling bertentangan antara Indonesia dan negara-negara luar. Indonesia menganggap Timur Timur adalah wilayah yang sebelumnya telah resmi menjadi bagian wilayah Indonesia pada tahun 1976. Karena itu, ketika Timor Timur kemudian memisahkan diri dari Indonesia pada tahun 1999, maka telah terjadi suksesi negara pada waktu itu.

Pandangan kedua dari negara-negara lain, termasuk PBB, yang menganggap peristiwa tahun 1976 tersebut adalah tindakan pendudukan dengan kekerasan terhadap wilayah Timor Timur. Karena itu, ketika Timor Timur lepas dari wilayah Indonesia, yang terjadi bukanlah suksesi negara, tetapi “pengembalian kedaulatan”. Terlepas apakah telah terjadi suksesi negara atau tidak, masalah mengenai status aset harta kekayaan pemerintah Indonesia yang berada di wilayah Timor Timur (Timor Leste) ternyata kemudian menjadi masalah kedua negara. Dari fakta ini, menurut penulis, suksesi negara telah terjadi. Wilayah Timor Timur sebelumnya adalah wilayah pendudukan (Portugis sebelum diambil alih Indonesia), bukan wilayah merdeka. Karena itu dengan lepasnya Timor Timur dari Indonesia pada tahun 1999, telah terjadi pemisahan wilayah dan kemudian telah lahirnya suatu negara baru. Artinya, telah terjadi suatu proses suksesi negara.






B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana penyelesaian harta-harta atau asset-aset kekayaan publik setelah timor-timur merdeka ?
2. Bagaimana hutang Indonesia yang dibuat untuk membangun timor-timur ?
3. Bagaimana status internasional yang dibuat oleh Indonesia setelah Indonesia merdeka?

























BAB II
PEMBAHASAN

A. SUKSESI NEGARA DAN TIMOR TIMUR SERTA ASET PEMERINTAHAN RI

Terlepasnya Timor Timur dari wilayah Republik Indonesia dan kemudian membentuk Negara baru (Timor Leste), melahirkan berbagai masalah baru. Masalah utamanya adalah adanya dua pendapat yang saling bertentangan antara Indonesia dan negara-negara luar. Indonesia menganggap Timur Timur adalah wilayah yang sebelumnya telah resmi menjadi bagian wilayah Indonesia pada tahun 1976. Karena itu, ketika Timor Timur kemudian memisahkan diri dari Indonesia pada tahun 1999, maka telah terjadi suksesi negara pada waktu itu. Pandangan kedua dari negara-negara lain, termasuk PBB, yang menganggap peristiwa tahun 1976 tersebut adalah tindakan pendudukan dengan kekerasan terhadap wilayah Timor Timur. Karena itu, ketika Timor Timur lepas dari wilayah Indonesia, yang terjadi bukanlah suksesi negara, tetapi “pengembalian
kedaulatan”.

Terlepas apakah telah terjadi suksesi negara atau tidak, masalah mengenai status aset harta kekayaan pemerintah Indonesia yang berada di wilayah Timor Timur (Timor Leste) ternyata kemudian menjadi masalah kedua negara. Dari fakta ini, menurut penulis, suksesi negara telah terjadi. Wilayah Timor Timur sebelumnya adalah wilayah pendudukan (Portugis sebelum diambil alih Indonesia), bukan wilayah merdeka. Karena itu dengan lepasnya Timor Timur dari Indonesia pada tahun 1999, telah terjadi pemisahan wilayah dan kemudian telah lahirnya suatu negara baru. Artinya, telah terjadi suatu proses suksesi negara.

Sewaktu Timor Leste menyatakan “perpisahannya” dari RI masalah yang segera timbul adalah bagaimanakah status hukum asset-aset pemerintah RI yang ada di dalam wilayah negara tersebut. Pendirian RI dan Timor Leste berbeda. RI berpendapat bahwa asset-asetnya di wilayah itu tidak secara otomatis beralih, tetapi status tersebut harus atau tunduk kepada aturan-aturan hukum internasional yang berlaku. Sebaliknya Timor Leste berpendapat bahwa aset tersebut adalah milik negaranya sesuai dengan Konstitusinya. Sudah diakui umum, suksesi terhadap harta benda (aset) publik dari negara yang diambil alih adalah suatu prinsip hukum yang baru (2001). Namun ada satu pasal dalam Konstitusi yang mungkin menjadi penafsiran pemerintah Timor Leste yang digunakan untuk pendirian tersebut. Namun kebiasaan internasional. Praktek negara-negara mengakui suksesi negara baru terhadap aset atau harta kekayaan milik Negara sebelumnya.

Sarjana terkemuka yang memiliki otoritas di bidang kajian ini, yakni D.P. O'Connell, mengemukakan bahwa negara pengganti (successor state) memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari hak milik dari negara yang digantikannya. Konvensi Wina 1983 tidak membedakan harta benda publik dan privat. Konvensi lebih menekankan kepada perlakuan yang seragam dari harta benda negara (State property). Tampaknya yang menjadi alasan Konvensi untuk tidak memberikan pembedaan ini karena tidak adanya kriteria dalam hukum kebiasaan internasional mengenai pengertian harta negara ini. Berdasarkan Konvensi 1983, harta benda negara (State property) adalah "property, rights and interests (in a legal sense) which, at the date of the succession of State, were owned by that State." Dengan kata lain, harta benda negara adalah harta benda, hak dan kepentingan (dalam arti hukum) yang dimiliki oleh negara pada waktu terjadinya suksesi negara. Dalam hal negara pengganti (succession States) tersebut bukan suatu negara baru merdeka, maka para negara akan berupaya mencari kesepakatan (agreement). Manakala para pihak tidak berhasil mencapai kesepakatan, pada prinsipnya benda-benda bergerak yang berada di dalam wilayah negara pengganti beralih kepada negara tersebut. Pasal 17 (1) (b) Konvensi 1983 menjelaskan lebih lanjut bahwa harta benda bergerak yang beralih tersebut adalah harta benda yang ada kaitannya dengan kegiatan negara yang diganti (lama) di wilayah yang sekarang menjadi milik negara pengganti. Tidak termasuk dalam hal ini adalah harta benda yang diperoleh oleh negara yang digantikan sebelum, misalnya, terjadinya kolonisasi atas wilayah yang sekarang menjadi negara pengganti (baru). Sedangkan harta benda bergerak lainnya di mana suatu bagian wilayah terpisah harus dibagi berdasarkan pembagian yang adil ("equitable proportion").

Namun dalam hal negara pengganti adalah suatu negara yang baru merdeka (newly independent State), maka kesepakatan di antara para pihak tidak diperlukan (Pasal 15 (1) (b)). Demikian pula negara baru merdeka ini juga mewarisi harta benda bergerak yang semula "milik" wilayah yang sekarang menjadi negara baru meredeka selama jangka waktu wilayah tersebut masih dimiliki negara lama. Ketentuan yang sama juga berlaku terhadap harta benda bergerak yang semula dimiliki atau dibentuk oleh wilayah yang sekarang merdeka. Dari uraian di atas tampak bahwa Konvensi internasional memberi hak kepada negara yang baru merdeka untuk mengklaim dirinya sebagai pemilik baru atas aset negara lama. Dalam halini, Timor Leste sebagai negara baru merdeka menjadi pemilik atas aset negara RI yang berada di sana. Pada umumnya, negara-negara mempunyai hukum nasional-nya yang mengatur masalah suksesi negara ini. Hukum nasional Timor Leste telah dikemukakan di atas. Hukum Indonesia mengatur suksesi negara dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 mengenai Perjanjian Internasional. Namun UU ini hanya mengatur suksesi negara dalam kaitannya dengan status hukum perjanjian internasional di negara baru (pasal 20). RI tidak punya aturan suksesi negara mengenai status aset negara di suatu wilayah Negara baru. Namun demikian, apabila dilihat seksama, tampak bahwa bunyi ketentuan mengenai suksesi negara antara hukum nasional (Konstitusi Timor Leste) dengan hukum internasional tidak jauh beda. Artinya, klaim pemerintah Timor Leste terhadap aset Negara RI memiliki dasar hukum yang cukup kuat.


B. SOLUSI CERDAS HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PERSOALAN HUTANG PIUTANG
Meski penentuan pendapat di Timtim dimenangkan prokemerdekaan sehingga wilayah itu lepas dari NKRI, ternyata belum menyelesaikan masalah daerah itu secara menyeluruh. Penentuan pendapat itu juga telah menyebabkan bencana kemanusiaan yang dahsyat dengan banjirnya 350.000-an pengungsi keluar dari Timtim. Bahkan diperkirakan ada sekitar 130.000 pengungsi lagi di Timor Barat. Kebanyakan dari mereka adalah masyarakat pro-integrasi, 50.000-an di antaranya anggota Pasukan Pejuang Integrasi, dari tingkat atas sampai tingkat rendah, berikut keluarganya. Selain itu juga masalah hutang piutang juga menjadi pembicaraan yang menarik untuk diperdebatkan.
Dengan mengacu pada hukum internasional yang berlaku dan kebiasaan internasional, maka hutang yang dilakukan oleh ndonesia pada saat timor timur masih bergabung dengan Negara kesatuan republik Indonesia (NKRI). Maka hutang piuatngan ya ditanggung oleh Negara timor timur yang dengan keinginannya melepaskan diri dari wilayang kesatuan atau integrasi Indonesia.

C. PENGARUHAKEMERDEKAANATIMORATIMURATERHADAPAKEWARGA-NEGARAAN INDONESIA DIMATA INTERNASIONAL
Masalah pelepasan Timor Timur dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menjadi negara baru Republica Democratia de Timor Leste (RDTL) membawa permasalahan baru dalam bidang kewarganegaraan. Negara Timor Leste dulunya merupakan bagian dari wilayah Negara Indonesia, sebagai propinsi termuda. Masuknya Timor Timur ke dalam Negara Republik Indonesia disahkan melalui UU No. 7 Th. 1976 (LN. 1976-36) tentang Pengesahan Penyatuan Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu juga lahir PP No. 19 Th. 1976 (LN. 1976-36) tentang Pembentukan Propinsi Daerah Tingkat I Timor Timur, serta dipertegas lagi melalui Ketetapan MPR No. VI/MPR/1976 yang mengukuhkan penyatuan wilayah Timor Timur yang terjadi pada tanggal 17 Juli 1976 ke dalam wilayah Nergara Kesatuan RI. Proses integrasi ini didasarkan pada Deklarasi Balibo yang ditandatangani pada tanggal 30 November 1975. Deklarasi Balibo dan ketentuan-ketentuan di atas menjadi dasar klaim bagi pemerintah Indonesia.

Namun dengan adanya penyatuan ini, tidak berarti semuanya akan terlaksana dengan baik. Status Timor Timur selalu dipermasalahkan, sehingga Sekjend PBB selalu memprakarsai untuk mengadakan pembicaraan bertiga (tripartie talks) yang dihadiri oleh Menteri Luar Negeri Indonesia dan Menteri Luar Negeri Portugal dalam mencari suatu penyelesaian masalah di Timor Timur secara adil, menyeluruh dan diterima secara internasional. Namun dalam forum tersebut, tidak banyak diperoleh kemajuan karena masing-masing pihak bersikeras mempertahankan sikapnya masing-masing.

Indonesia di satu pihak telah menolak pembicaraan di forum itu dengan mengaitkan resolusi-resolusi tentang Timor Timur yang ada. Di lain pihak, Portugal selalu menekankan perlunya segera dilaksanakan hak penentuan nasib sendiri (self-determination) bagi warga negara Timor Timur.Namun keadaan ini hanya berlangsung sampai dengan tahun 1998. Negara Indonesia mengalami gejolak sosial politik yang menyebabkan Presiden Soeharto turun dari kursi kepresidenannya setelah selama 32 tahun menguasai negeri ini. Habibie yang pada saat itu menjabat sebagai wakil presiden diangkat secara sepihak oleh Soeharto untuk meneruskan jabatan presiden RI dimasa transisi dan penuh kritis itu.
Salah satu kebijakan politis Habibie yang sangat kontroversial dan fenomenal pada waktu itu adalah memberikan dua opsi atau pilihan kepada rakyat Timor Timur yakni referendum atau otonomi khusus.Rakyat Timor Timur memilih jalan referendum untuk menentukan nasib masa depan mereka. Maka pada tanggal 30 Agustus 1999, Misi PBB UNAMET (United Nation Mission for East Timor) mengadakan jajak pendapat (referendum), dengan opsi tetap bergabung dengan Indonesia atau memilih lepas dari Indonesia.
Hasil referendum yang melibatkan PBB dan beberapa negara asing seperti Amerika Serikat dan Australia itu membuat Indonesia kaget. Bagaimana tidak, lebih dari 70% peserta referendum menentukan pilihan: Timor Timur harus memisahkan diri dari negara RI dan mendirikan negara yang merdeka dan mempunyai kedaulatan sendiri. Maka berdirilah negara baru di abad 21 ini, yakni “Negara Republica Democratia de Timor Leste). Pada bulan Mei 2002 Timor Leste resmi menjadi negara anggota PBB.Berdirinya negara baru Timor Leste didasarkan atas hak self-determination. Interpretasinya, mereka telah menentukan politiknya secara bebas, termasuk kesadaran dan pengetahuan akan perubahan status kewarganegaraan. Hak ini sepatutnya dihormati karena semua bangsa mempunyai hak untuk menentukan nasib dan status politiknya sendiri. Kemerdekaan Timor Leste ini jelas mempengaruhi status kewarganegaraan penduduk Timor Timur. Muncul pertanyaan yang sangat wajar tetapi merupakan pertanyaan yang sangat penting dalam berbangsa dan bernegara, yakni apakah dengan pemisahan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan berdiri sendiri sebagai negara yang mandiri, otomatis mempengaruhi status kewarganegaraan dari Warga Negara Indonesia menjadi Warga Negara Timor Leste.
Pertanyaan ini tampaknya sangat sederhana tapi amat penting dalam pemahaman kehidupan internasional dan hubungan bilateral Negara Republik Indonesia dengan Negara Timor Leste. Penentuan status kewarganegaraan ini harus jelas mengingat hak dan kewajiban negara terhadap warga negara pada hakekatnya ditentukan oleh hukum di wilayah negara tersebut dan kewarganegaraan orang yang bersangkutan.
Kedudukan individu sebagai subyek hukum internasional, kini semakin mantap dengan bertambahnya perjanjian internasional yang menetapkan kewajiban individu tersebut, meskipun hanya dalam artian sempit, yaitu menyangkut hak dan kewajiban hukum internasional material. Hak dan kewajiban individu dalam perjanjian internasional (material) banyak dikaitkan dengan kewarganegaraan, karena status kewarganegaraan yang jelas akan memudahkan peradilan internasional dalam memecahkan permasalahan yang timbul, terutama masalah hukum yang berlaku baginya karena ada hubungan-hubungan tertentu yang tidak dimiliki individu tanpa kewarganegaraan seperti perlindungan diplomatik di luar negeri, maupun mengenai tanggung jawab negara apabila individu melakukan tindak kejahatan di luar negeri, dan lain-lain. Ooleh karenanya dengan melihat permaslahan diatas status kewarganegaraan Indonesia sekarang ibi telah jelas yaitu status orang Indonesia ialah tetap yaitu menjadi orang Indonesia, begitu juga sebaliknya terhadap status orang timor timur yang sekarang menjadi Negara baru.



BAB III
KESIMPULAN

Dari uraian di atas, tampak bahwa terlepasnya Timor Timur dari wilayah RI merupakan masalah suksesi negara. Dua masalah yang serta merta lahir daripadanya, yakni masalah status asset pemerintah RI di wilayah Timor Leste merupakan sebagian kecil saja masalah yang timbul dari terlepasnya Timor Timur dari RI. Kasus Timor Timur juga menunjukkan bahwa masalah suksesi negara ini semakin relevan dewasa ini. Kasus ini sekaligus juga menunjukkan bahwa hukum mengenai suksesi negara ini berkembang dan kasus ini memiliki kekhasannya. Kasus ini di samping masalah klasik yang melekat setelah terjadinya proses suksesi negara, yakni masalah status aset negara lama, juga terdapatnya perjanjian yang jenisnya bukan perjanjian perbatasan, tetapi pengaturan sementara. Karena itu, doktrin atau prinsip hukum yang berlaku umum untuk masalah perbatasan ini, yakni doktrin uti possidetis, tidak berlaku dalam kasus ini.

Berkenaan dengan status hutang tersebut bialmana mengacu pada hukum internasional yang berlaku dan kebiasaan internasional, maka hutang yang dilakukan oleh ndonesia pada saat timor timur masih bergabung dengan Negara kesatuan republik Indonesia (NKRI). Maka hutang piuatngan ya ditanggung oleh Negara timor timur yang dengan keinginannya melepaskan diri dari wilayang kesatuan atau integrasi Indonesia.

Hak dan kewajiban individu dalam perjanjian internasional (material) banyak dikaitkan dengan kewarganegaraan, karena status kewarganegaraan yang jelas akan memudahkan peradilan internasional dalam memecahkan permasalahan yang timbul, terutama masalah hukum yang berlaku baginya karena ada hubungan-hubungan tertentu yang tidak dimiliki individu tanpa kewarganegaraan seperti perlindungan diplomatik di luar negeri, maupun mengenai tanggung jawab negara apabila individu melakukan tindak kejahatan di luar negeri, dan lain-lain. Ooleh karenanya dengan melihat permaslahan diatas status kewarganegaraan Indonesia sekarang ini telah jelas yaitu status orang Indonesia ialah tetap yaitu menjadi orang Indonesia, begitu juga sebaliknya terhadap status orang timor timur yang sekarang menjadi Negara baru.





























DAFTAR PUSTAKA

- Oscar Schachter, The Once and Future Law, dikutip dalam Carter an Trimble, International Law, Boston, 1995.
- Wladyslaw Czaplinski, “Equity and Equitable Principles in the Law of State Succession,” dalam: Mojmir Mrak (ed.), Succession of States, The Hague: Martinus Nijhoff, 1999.
- Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung: Alumni, cet-.2., 2001.
- D.J. Harris, Cases and Materials on International Law, London: Sweet and Maxwell, edisi kelima, 2000.
- Ian Brownlie, Principles of Public International Law, Oxford: Clarendon press, edisi kelima., 1998.
- UU No. 7 Th. 1976 (LN. 1976-36) tentang Pengesahan Penyatuan Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- PP No. 19 Th. 1976 (LN. 1976-36) tentang Pembentukan Propinsi Daerah Tingkat I Timor Timur.
- Konvensi Wina 1983.
- http//www.google.com/”Timor Timur dan Konflik Internal Indonesia”.diakses pada tanggal 13 desember 2008.
- F. Sugeng Istianto, Hukum International, Penerbit Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 1994.

Rabu, 18 Februari 2009

CEDERA PEMAIN ITALIA JELANG EURO, MOMOK BAGI ITALIA???

CEDERA PEMAIN ITALIA JELANG EURO, MOMOK BAGI ITALIA???

eL_ridho*

Euro 1996 tidak ada nama Roberto Baggio di barisan depan Italia, yang waktu itu Arrigo Sacchi sabagai allenatore-nya. Kala itu dia tidak memasukan Baggio karena belum pulih dari cedera dan kalah bersaing dengan juniornya, Alesandro Del Piero. Padahal, dua tahun sebelumnya, Baggio menjadi aktor utama yang meloloskan Italia ke final Piala Dunia 1994. Tapi, gara-gara penaltinya meleset, Italia menyerah dari Brazil. Baggio sekaligus bintang Italia dekade 1990-an yang tak pernah berlaga di putaran final Euro.

Euro 2000 Gianluigi Buffon sudah diplot sebagai kiper nomor satu Italia. Tapi, dia mengalami cedera patah tangan hanya delapan hari sebelum turnamen atau uji coba lawan Norwegia. Posisinya digantikan Fransesco Toldo. Pada even itu juga Itali kalah dari Prancis lewat golden golnya Trezeguet.

Euro 2006 Italia kehilangan striker Filippo Inzaghi yang mengalami cedera lutut dan engkel. Padahal, pemain berjuluk super Pippo itu baru saja mengantarkan AC Milan menjadi scudetto Serie A musim 2003-2004, plus gelar Liga Champion, Piala Super Eropa, dan Coppa Italia (ketiganya pada 2003). Pada even lima tahunan ini Italia hanya sampai pada babak penyisihan. Wallahua’lam.

BLUE ISLAND 06-06-08

09:20

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia angkatan ‘07.

JOGJA “BUKAN” KOTA FREE SEX Banyak riset ngawur!

JOGJA “BUKAN” KOTA FREE SEX

Banyak riset ngawur!

eL_ridho*

Nila setitik, rusak susu sebelangga. Pribahasa itu tepat untuk menggambarkan peta kota Jogja serta prestise mahasiswa Jogja tercemar. Sebuah majalah di ibu kota menulis tarif mahasiswi kota Jogja Rp 1-2 juta sekali kencan. Kalimat tersebut menegaskan jelas mahsisiwi Jogja yang datang dari bebrbagai daerah ternyata punya misi ganda. Selain kuliah, juga ‘nyambi’ jualan tubuh. Fenomena ini memang bukan hal baru. Pergaulan anak muda sekarang menafikan norma-norma. Melakukan hubungan seks sebelum nikah, seperti tidak tabu lagi. Maka, jika ada berita mahasiswi ‘jualan’ daging bukan isapan jempol. Memang nyata ada.

Seorang pelajar yogya, Eko Sulistyo, awal 80-an, pernah melakukan penelitian tentang kumpul kebo, yang membikin geger itu. Penelitian itu membuka mata banyak orang. Tidak terduga sama sekali. Meski sebuah realitas yang patut di sayangkan, isu kumpul kebo kalangan mahasiswa, sempat bikin tercemar kota Jogja. Banyak orang tua yang ngeper. Takut mengkuliahkan anaknya ke Jogja. Beberapa tahun lalu, Iip Wiajyanto, merilis penelitian yang tak kalah menarik dan menggemparkan yaitu ‘97,05 persen mahasisiwi Jogja sudah tidak perawan’. Hal ini tidak membuat kaget di kalangan penididk saja tapi orang tua calon mahasiswa yang awalanya ingin memasukan anaknya ke kota budaya ini merasa ketakutan luar biasa karena isu tersebut. Mereka berpikir, bila anaknya kuliah di Jogja, kemungkinan akan terpengaruh pergaulan. Ending-nya, jadi hilang keperawananya, seperti yang di ungkapkan Iip itu.

Oknum mahasisiwa yang kebablasan memang ada. Namun jika mengacu temuan Iip yang 97,05 persen itu, sangat berlebihan. Karena tidak mewakili keseluruhan mahasiswa. Wajar jika kemudian banyak yang melakuakn protes atas temuan yang di anggap sangat tidak valid dan amatiran itu. Prof. Drs Koentjoro MBSc, Ph.D, tak menampik ada mahasisiwa yang terlalu jauh perbuatannya. Jika ada mahasiswa yang melacur, menurutnya, di pengaruhi beberapa hal. Antara lain tidak ada kontrol orang tua, bentuk kaksih sayang dari orang tua hanya sekedar pemenuhan materi saja, kasih sayang dan perhatian minim di berikan. Hal kedua yaitu lingkungan. Yang ketiga tergantung setiap individu. Bergaul dengan kawan yang seperti apa, menjadi sebuah pilihan. Teknologi internet membuat kematangan seksual seseorang lebih cepat dan rasa ingin tahu pun semakin tinggi. Hal ini bisa menyebabkan seks pra nikah yang berujung pada pelacuran.

Melacur berbeda dengan melakukan hubungan badan dengan pacar. Melacur berarti menjual kehormatan sekaligus harga diri. Secara biologis, usia 19 tahun ke atas sudah mencapai tahap seksual mature. Jika kontrol diri lemah dapat menyebabkan kontrol terhadap seks meningkat, hal ini di ungkapkan oleh psikolog sosial UGM. Dalam pandangan Koentjoro, imej Jogja sebagi kota pendidikan sedikit terimbas dengan adanya mahasiswa yang melacur. Namun tidak bebrpengaruh bagi mahasiswa yang tidak melakukannya. Namun penulis buku On The Spot ; Tutur dari Seorang Pelacur ini, menganggap penelitian Iip Wijayanto mengenai keperawanan mahasiswi yogya, sungguh tidak memenuhi syarat. Baik secara teoritis, metodologi maupun penelitian subjek. Penelitain itu tidak sesuai jalur dan bisa saja di tuntut pihak yang berkepentingan seperti Dewan Pendidikan. Penelitian itu cukup memberi pengaruh dan banyak orang tua yang tersentak. Namun hal itu tetap tidak mengurungkan niat untuk tetap percaya untuk menyekolahkan putra-putrinya di Jogja. ”Yang terpenting berkata tentang kebenaran. Jangan mencari sensasi maupun popularitas, sebab memnberi dampak yang luar biasa. Saya tidak percaya dengan hasil penelitian itu”, ungkap Koentjoro.

Koordinator Kopertis Wilayah V DIY, Prof. Dr. Ir Budi Santoso Wignyosukarto Dipl HE, juga tak melihat banyak pengaruhnya. “Ini dapat di buktikan dengan melihat angka partisipasi kasar (APK) jumlah masyarakat yang berusia 19-24 tahun yang kuliah di DIY lebih banyak (63 persen) ketimbang DKI (60 persen). Hal ini dapat di jadikan parameter bahwa masih banyak yang ingin melanjutkan pendidikan di Jogja. Total mahasiswa Jogja sekitar 146 ribu mahasiswa dengan 529 program studi”, kata Budi. Iip sendiri ketika di konfirmasi tentang adanya keengganan orang tua melepas anaknya ke Jogja, karena membaca hasil penelitiannya, menjawab singkat. “Ada penagruhnya tapi sedikit.” Memang tidak semua terpengaruh. Masih ada yang punya pikiran logis, bahwa penelitian itu tidak valid. Tidak mewakili secara keseluruhan. Namun yang ketakutan pun tetap ada. “Teman saya, dulu ingin kuliah ke Jogja. Tapi dilarang mamanya. Gara-garanya, bukunya Iip itu”. Ucap Via, mahasisiwi PTS di Jogja utara asal Palembang.

Lepas dari norma masyarakat dan agama, menjual diri memang urusan pribadi. Banyak faktor yang melatarbelakanginya. Ekonomi salah satunya. MP pernah dicurhati seorang mahasiswi asal Sulawesi, yang akhirnya terjerumus dalam dunia esek-esek. ‘Aku hidup sendiri di sini, orang tua tidak pernah kirim uang, rumahku di pedalaman. Terpaksa aku begini demi mempertahankan hidup,” ucap cewek berambut sebahu, yang kesehariannya suka bercelana panjang. Alasan itu bisa logis. Tapi kalau menyangkut orang banyak, terlebih menjual diri juga banyak akan memunculkan tuduhan massal. Stigma, bahwa kebanyakan mahasisiwi selalu begitu. Fenomena ini yang harus di sadari siapa saja. Terutama yang yang melakukan penelitian semacam Iip atau Eko.

Oknum adalah oknum. Tidak bisa mewakili semuanya. Jika ada sekelompok mahasiswi jual diri, tidak bisa menyeret semua mahasiswa/i Yogya. Wallahu’alam.

Blue island 04-06-08.

09:46

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia angkatan ’07.

REVITALISASI dan URGENSI NILAI-NILAI KEMANUSIAAN DALAM QURBAN

REVITALISASI dan URGENSI NILAI-NILAI KEMANUSIAAN DALAM QURBAN

Oleh : Ali Ridho*

Dan Telah kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi'ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, Maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), Maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur.

(QS Al Hajj : 36)

PROLOG

Qurban merupakan suatu aktivitas ibadah masyarakat Muslim dalam bentuk penyembelihan hewan ternak pada hari raya Idul Adha yang tatacaranya diatur menurut kaidah syariah Islam. Setiap tanggal 10 Dzulhijjah, umat Islam di seluruh dunia juga selalu digembirakan oleh kehadiran Hari Raya Idul Adha atau Idul Kurban. Dalam telisik lughah (etimologis), kurban berasal dari akar kata qaruba-yaqrubu-qurbaanan yang berarti dekat. Biasanya, dalam bahasa Arab, suatu kata yang diakhiri dengan alif dan nun menyiratkan arti kesempurnaan. Untuk menggambarkan kesempurnaan ini, pertama kali bisa kita identifikasi pada binatang yang akan disembelih yang memang mesti sempurna. Dari sisi substansi, seseorang yang berkurban tidak boleh setengah-setengah, harus total, dan ikhlas. Sementara dalam perspektif fikih, kurban memiliki makna ritual penyembelihan hewan ternak yang telah memenuhi kriteria tertentu dan dilakukan pada waktu tertentu pula, yaitu 10-13 Dzulhijjah.

PESAN SOSIAL DALAM QURBAN

Sebagai salah satu media syiar dakwah isalamiyah, qurban juga memiliki nilai-nilai dan tujuan yang sangat fundamental dalam tatanan kehidupan masyarakat yang plural seperti negeri ini. Secara substansial, tujuan kurban bukan sekadar ritual menyembelih hewan qurban, memasaknya, lalu memakannya secara massal dengan pesta sate, gulai, ataupun sejenisnya . Sejatinya ibadah kurban menyiratkan pesan penting untuk membantu kesulitan orang lain. Pesan substansial dari sebuah ritual inilah yang semestinya kita teguhkan, bukan prosesi ritual itu sendiri yang diberi porsi perhatian berlebih. Jika diasumsikan bahwa semangat hari Idul kurban bersifat dinamis, maka sesungguhnya ia tidak berhenti pada semangat untuk menumbuhkan kesalehan ritual individual, tetapi harus berorientasi pada terwujudnya kesejahteraan sosial. Apalagi kalau melihat parameter sosialnya, dimensi sosial ini menempati porsi yang sangat besar dalam sistem ajaran Islam. Oleh karena itu revitalisasi dalam membantu sesama seyogyanya bukan hanya pada moment idul qurban saja melainkan sepanjang tahun, yaitu selagi kita diberi kesempatan untuk bernafas oleh sang khaliq.

Selain itu Qurban adalah bentuk taqarrub (usaha mendekatkan diri) kepada Allah SWT karena kasih sayang kita pada sesama manusia, terutama pada golongan fakir miskin yang membutuhkannya. Mudah-mudahan dengan kegiatan ini hubungan batin dan persaudaraan antara golongan yang berkecukupan dengan golongan yang tidak berkecukupan akan terjalin dengan erat. Menyayangi sesama manusia pada hakekatnya mengundang rahmat dan kasih sayang dari Allah SWT dan seluruh makhluk-Nya yang ada di langit, sehingga ibadah vertical akan lebih bisa terjalin secara konstant dan hubungan horizontal bisa akan semakin dekat sesuai dengan makna qurban itu sendiri.

URGENSI ‘BERKORBAN’ DALAM KONTEKS KEKINIAN dan KEDISINIAN

Sebagi salah satu produk Syariah Islam qurban atau korban mengandung konsekwensi mengikat setiap Muslim untuk menjalankanya jika mampu sebagai sunah mu’aqad (dikuatkan, ditekankan untuk dilaksanakan, hampir menyamai ibadah wajib), Adanya syariah Qurban dalam Islam merupakan salah satu bentuk real (nyata) kalau Islam merupakan agama rahmatan lil’alamin, membawa rahmat universal untuk semua manusia dan menjadikannya pembeda yang meneguhkan keunikan serta keunggulan apabila dikomparasikan dengan ajaran maupun agama lain. Melihat fenomena Qurban yang yang merupakan perintah Tuhan sudah barang tentu berqurban jelas berdimensi sosiologis-humanis dalam rangka mengkristalkan rasa kemanusiaan dan mengasah sensitivitas nurani sosial manusia. Ini artinya, keyakinan menjalankan perintah agama seharusnya berdimensi sosial universal. Jika tidak, manusia akan dituduh oleh Tuhan sebagai pendusta agama, karena tidak mampu mewujudkan nilai-nilai sosial, hal inilah yang pernah di argumentasikan oleh Mukhaer Pakkanna.

‘Sesungguhnya telah kami karuniakan kepadamu kenikmatan yang berlimpah. Maka, salatlah untuk tuhanmu dan berkorbanlah’ (QS Al Kautsar : 1 dan 2), begitulah salah satu firman allah yang menyerukan untuk berkorban. Dalam konteks sekarang ini fenomena berkorban relatif mudah kita jumpai, apalagi menjelang pergulatan politik, seperti pilkada, pilgub, ataupun pilpres 2009 sekalipun. Banyak orang-orang yang memiliki kepentingan rela menggelontorkan harta bendanya demi mempopulerkan eksistensinya dipanggung perpolitikan, harapanya tentunya sangatlah jelas yaitu agar mereka bisa dikenal dan dapat menarik simpati publik, sehingga nantinya bisa mendulang suara terbanyak dan memenangkan pertarungan politik. Tetapi hal serupa mungkin sedikit sekali kita temukan pada orang yang rela berkorban untuk orang banyak dengan ikhlas tanpa harus menimbang untung ruginya dan implikasi yang akan diperolehnya, sehingga berkorban yang kita lihat menjelang pemilu ini menurut hemat penulis hanyalah sebuah pengorbanan yang sia-sia karena didalamnya sudah terbangun adanya sifat pamrih atas pengorbanannya. Sebuah kesimpulan yang dapat diambil dari berkorban pada masa kekinian dan kedisinan adalah hanyalah menginginkan timbal balik alias pamrih, hal inilah yang membedakan dan sagatlah kontras dengan apa yang telah dicontohkan oleh nabi Ibrahim AS. Namun ada dimensi lain ketika di tuntut untuk berkorban yaitu tidak selamanya pengorbanan itu harus bentuk yang nyata (hewan hurban) seperti yang ada pada umumnya, artinya kita bisa berkurban dengan apa yang kita miliki untuk dikorbankan dan mampu untuk melaksanakannya. Contohnya orang yang memiliki ilmu, dia bisa mengajarkannya kepada yang membutuhkannya, bukankah itu juga merupakan salah satu bentuk pengorbanan yang positif.

EPILOG

Sedikit flashback ke zaman nabi Ibrahim, beliau rela mengorbankan putranya Ismail yang pada akhirnya diganti dengan seekor domba sebelum prosesi penyembelihan terjadi. Akan tetapi nabi Ibrahim dan Ismail sama ikhlas dengan apa yang diperintahkan tuhannya yang semata-mata demi kemaslahatan umatnya. Artinya disini esensi berqurban sendiri adalah untuk menjalin hubungan horizontal antara satu dengan yang lainnya untuk selalu membantu dan memberikan sebagian rizqi lebih yang didapatnya, sehingga implikasinya keharmonisan akan tercipta antara si ‘kaya’ dengan si ‘miskin’. Semoga semangat berqurban akan selalu ada pada diri kita semua dan selalu ada damanpun dan kapanpun, sehingga sakralitas qurban akan berjalan secara kontinuitas ditengah globalisasi yang tak bisa kita beri sekat-sekat dalam kedinamisannya. Pada muaranya kita sebagai umat rasulullah SAW yang diperintahkan untuk mengikuti perintah nabi Ibrahim AS akan tetap ada dan terus kita jalankan. Sesuai dengan firman allah SWT dalam surat Ali Imran yang artinya : “Katakanlah: "Benarlah (apa yang difirmankan) Allah". Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik.(QS. Ali Imron : 95)

Wallahu’alam…

*Mahasiswa Fak.Hukum Universitas Islam Indonesia angkatan 07.


Sehari 1.174 Orang Mati karena Rokok!!!

Sehari 1.174 Orang Mati karena Rokok

Oleh: eL_ridho*

Ini merupakan angka yang sungguh sangat fantastis berarti sekitar 1.174 orang meninggal setiap hari atau sekitar 427.948 karena di sebabkan oleh rokok. Data tersebut di ambil dari Badan Khusus Pengendalian Tembakau Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat (TCSC-IAKMI), separuh kematian ini terjadi pada usia produktif, memang saat ini, rokok merupakan salah satu penyebab kematian utama di dunia. Bahkan dari data World Health Organization (WHO) sekitar 5,4 juta orang di perkirakan meninggal disebabkan rokok.

FAKTA DI JOGJA

1. Tahun 1995, jumlah perokok pemula laki-laki sekitar 45%. Tahun 2000 jumlah yang meninggal menjadi 60%.

2.aKecenderungan merokok di kalangan remaja perempuan naik dari 5% pada tahun 1995, menjadi 15% pada tahun 2000.

3.aSebanyak 19,9% dokter di Jogja adalah perokok, sedang 7,1% dokter wanita di Jogja juga mengaku pernah merokok, penelitian ini di lakukan pada 481 dokter.

Melihat fakta di atas tentunya sangatlah miris bagi kita semua, mengingat seruan tentang bahaya merokok telah di lakukan di mana-mana. Tapi hasilnya juga belum nampak menggembirakan. Kalau hal ini tetap di biyarkan, entah berapa jiwa yang akan kehilangan nyawanya dalam satu bulan. Wallahua’lam.

BLUE ISLAND 04-06-08

11:43

*Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Angkatan ’07.