Rabu, 18 Februari 2009

REVITALISASI dan URGENSI NILAI-NILAI KEMANUSIAAN DALAM QURBAN

REVITALISASI dan URGENSI NILAI-NILAI KEMANUSIAAN DALAM QURBAN

Oleh : Ali Ridho*

Dan Telah kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi'ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, Maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), Maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur.

(QS Al Hajj : 36)

PROLOG

Qurban merupakan suatu aktivitas ibadah masyarakat Muslim dalam bentuk penyembelihan hewan ternak pada hari raya Idul Adha yang tatacaranya diatur menurut kaidah syariah Islam. Setiap tanggal 10 Dzulhijjah, umat Islam di seluruh dunia juga selalu digembirakan oleh kehadiran Hari Raya Idul Adha atau Idul Kurban. Dalam telisik lughah (etimologis), kurban berasal dari akar kata qaruba-yaqrubu-qurbaanan yang berarti dekat. Biasanya, dalam bahasa Arab, suatu kata yang diakhiri dengan alif dan nun menyiratkan arti kesempurnaan. Untuk menggambarkan kesempurnaan ini, pertama kali bisa kita identifikasi pada binatang yang akan disembelih yang memang mesti sempurna. Dari sisi substansi, seseorang yang berkurban tidak boleh setengah-setengah, harus total, dan ikhlas. Sementara dalam perspektif fikih, kurban memiliki makna ritual penyembelihan hewan ternak yang telah memenuhi kriteria tertentu dan dilakukan pada waktu tertentu pula, yaitu 10-13 Dzulhijjah.

PESAN SOSIAL DALAM QURBAN

Sebagai salah satu media syiar dakwah isalamiyah, qurban juga memiliki nilai-nilai dan tujuan yang sangat fundamental dalam tatanan kehidupan masyarakat yang plural seperti negeri ini. Secara substansial, tujuan kurban bukan sekadar ritual menyembelih hewan qurban, memasaknya, lalu memakannya secara massal dengan pesta sate, gulai, ataupun sejenisnya . Sejatinya ibadah kurban menyiratkan pesan penting untuk membantu kesulitan orang lain. Pesan substansial dari sebuah ritual inilah yang semestinya kita teguhkan, bukan prosesi ritual itu sendiri yang diberi porsi perhatian berlebih. Jika diasumsikan bahwa semangat hari Idul kurban bersifat dinamis, maka sesungguhnya ia tidak berhenti pada semangat untuk menumbuhkan kesalehan ritual individual, tetapi harus berorientasi pada terwujudnya kesejahteraan sosial. Apalagi kalau melihat parameter sosialnya, dimensi sosial ini menempati porsi yang sangat besar dalam sistem ajaran Islam. Oleh karena itu revitalisasi dalam membantu sesama seyogyanya bukan hanya pada moment idul qurban saja melainkan sepanjang tahun, yaitu selagi kita diberi kesempatan untuk bernafas oleh sang khaliq.

Selain itu Qurban adalah bentuk taqarrub (usaha mendekatkan diri) kepada Allah SWT karena kasih sayang kita pada sesama manusia, terutama pada golongan fakir miskin yang membutuhkannya. Mudah-mudahan dengan kegiatan ini hubungan batin dan persaudaraan antara golongan yang berkecukupan dengan golongan yang tidak berkecukupan akan terjalin dengan erat. Menyayangi sesama manusia pada hakekatnya mengundang rahmat dan kasih sayang dari Allah SWT dan seluruh makhluk-Nya yang ada di langit, sehingga ibadah vertical akan lebih bisa terjalin secara konstant dan hubungan horizontal bisa akan semakin dekat sesuai dengan makna qurban itu sendiri.

URGENSI ‘BERKORBAN’ DALAM KONTEKS KEKINIAN dan KEDISINIAN

Sebagi salah satu produk Syariah Islam qurban atau korban mengandung konsekwensi mengikat setiap Muslim untuk menjalankanya jika mampu sebagai sunah mu’aqad (dikuatkan, ditekankan untuk dilaksanakan, hampir menyamai ibadah wajib), Adanya syariah Qurban dalam Islam merupakan salah satu bentuk real (nyata) kalau Islam merupakan agama rahmatan lil’alamin, membawa rahmat universal untuk semua manusia dan menjadikannya pembeda yang meneguhkan keunikan serta keunggulan apabila dikomparasikan dengan ajaran maupun agama lain. Melihat fenomena Qurban yang yang merupakan perintah Tuhan sudah barang tentu berqurban jelas berdimensi sosiologis-humanis dalam rangka mengkristalkan rasa kemanusiaan dan mengasah sensitivitas nurani sosial manusia. Ini artinya, keyakinan menjalankan perintah agama seharusnya berdimensi sosial universal. Jika tidak, manusia akan dituduh oleh Tuhan sebagai pendusta agama, karena tidak mampu mewujudkan nilai-nilai sosial, hal inilah yang pernah di argumentasikan oleh Mukhaer Pakkanna.

‘Sesungguhnya telah kami karuniakan kepadamu kenikmatan yang berlimpah. Maka, salatlah untuk tuhanmu dan berkorbanlah’ (QS Al Kautsar : 1 dan 2), begitulah salah satu firman allah yang menyerukan untuk berkorban. Dalam konteks sekarang ini fenomena berkorban relatif mudah kita jumpai, apalagi menjelang pergulatan politik, seperti pilkada, pilgub, ataupun pilpres 2009 sekalipun. Banyak orang-orang yang memiliki kepentingan rela menggelontorkan harta bendanya demi mempopulerkan eksistensinya dipanggung perpolitikan, harapanya tentunya sangatlah jelas yaitu agar mereka bisa dikenal dan dapat menarik simpati publik, sehingga nantinya bisa mendulang suara terbanyak dan memenangkan pertarungan politik. Tetapi hal serupa mungkin sedikit sekali kita temukan pada orang yang rela berkorban untuk orang banyak dengan ikhlas tanpa harus menimbang untung ruginya dan implikasi yang akan diperolehnya, sehingga berkorban yang kita lihat menjelang pemilu ini menurut hemat penulis hanyalah sebuah pengorbanan yang sia-sia karena didalamnya sudah terbangun adanya sifat pamrih atas pengorbanannya. Sebuah kesimpulan yang dapat diambil dari berkorban pada masa kekinian dan kedisinan adalah hanyalah menginginkan timbal balik alias pamrih, hal inilah yang membedakan dan sagatlah kontras dengan apa yang telah dicontohkan oleh nabi Ibrahim AS. Namun ada dimensi lain ketika di tuntut untuk berkorban yaitu tidak selamanya pengorbanan itu harus bentuk yang nyata (hewan hurban) seperti yang ada pada umumnya, artinya kita bisa berkurban dengan apa yang kita miliki untuk dikorbankan dan mampu untuk melaksanakannya. Contohnya orang yang memiliki ilmu, dia bisa mengajarkannya kepada yang membutuhkannya, bukankah itu juga merupakan salah satu bentuk pengorbanan yang positif.

EPILOG

Sedikit flashback ke zaman nabi Ibrahim, beliau rela mengorbankan putranya Ismail yang pada akhirnya diganti dengan seekor domba sebelum prosesi penyembelihan terjadi. Akan tetapi nabi Ibrahim dan Ismail sama ikhlas dengan apa yang diperintahkan tuhannya yang semata-mata demi kemaslahatan umatnya. Artinya disini esensi berqurban sendiri adalah untuk menjalin hubungan horizontal antara satu dengan yang lainnya untuk selalu membantu dan memberikan sebagian rizqi lebih yang didapatnya, sehingga implikasinya keharmonisan akan tercipta antara si ‘kaya’ dengan si ‘miskin’. Semoga semangat berqurban akan selalu ada pada diri kita semua dan selalu ada damanpun dan kapanpun, sehingga sakralitas qurban akan berjalan secara kontinuitas ditengah globalisasi yang tak bisa kita beri sekat-sekat dalam kedinamisannya. Pada muaranya kita sebagai umat rasulullah SAW yang diperintahkan untuk mengikuti perintah nabi Ibrahim AS akan tetap ada dan terus kita jalankan. Sesuai dengan firman allah SWT dalam surat Ali Imran yang artinya : “Katakanlah: "Benarlah (apa yang difirmankan) Allah". Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik.(QS. Ali Imron : 95)

Wallahu’alam…

*Mahasiswa Fak.Hukum Universitas Islam Indonesia angkatan 07.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar